Demokrasi Anarki

    Tindakan anar­kis­tis menyusul Pemilu­kada Kota Palopo, Sulawesi Selatan, member­sit­kan sisi kelam dari demokrasi kita. Ruang kebe­basan yang dimungkinkan demokrasi digu­nakan untuk membunuh nilai-nilai demokrasi.
Kekerasan adalah musuh utama demokrasi, berten­tangan dengan spirit dan substansinya. Tak lain karena demokrasi sebagai jalan hidup (way of life) dengan seperang­kat institusinya merupakan suatu sarana nonkekerasan.
Di bawah kondisi-kondisi demokratis, kekuasaan dan kepentingan tidak bisa dipero­leh melalui jalan pemaksaan, melainkan melalui jalan konsensus yang memerlukan penghormatan publik pada orang lain yang setara meski­pun berbeda.

    Demokrasi juga merupa­kan suatu sistem pembagian kekuasaan secara legal yang aktor-aktornya sama-sama menghindari bahaya kekerasan dan sama-sama diuntungkan oleh ketiadaan kekerasan.
Ekspresi kekerasan di Palopo dan juga daerah lain­nya di Tanah Air mengindi­kasikan bahwa kecepatan perubahan prosedur dan ke­lem­bagaan demokrasi tak seiring dengan kecepatan perubahan budaya politik. Perubahan budaya politik memang perkara yang paling muskil dan lambat dalam transformasi menuju masya­rakat demokratis, karena melibatkan perubahan menda­sar dalam tata nilai yang tidak bisa diarahkan secara efektif oleh elite penguasa dalam tempo singkat.
Akan halnya di Indonesia, kesulitan perubahan budaya politik ini dipersulit oleh konsentrasi yang berlebihan pada perubahan aspek-aspek prosedural dengan menga­baikan perhatian pada proses pembelajaran masyarakat.
Elite dan partai politik hanya sibuk melakukan peru­bahan aturan main demi kepentingannya sendiri, melu­pakan fungsi pendidikan politik dan kapasitas rakyat untuk menyesuaikan diri dengan perubahan tatanan tersebut.

    Dalam pada itu, betapa pun demokrasi telah memba­wa keterbukaan ruang publik yang memungkinkan pengar­tikulasian beragam kepen­tingan, tidaklah berarti bahwa suara-suara publik itu otoma­tis mendapat akses pada proses pengambilan kepu­tusan. Penjelimetan prosedur demokrasi menyubur­kan isu politik yang membuat rezim pemberitaan harus berkejaran dengan perputaran isu yang berganti cepat.
Akibatnya, perhatian pub­lik pada isu tertentu sulit menga­lami pengendapan da­lam tempo yang relatif lama karena bisa segera dilibas oleh isu lainnya. Situasi ini mem­beri angin bagi para perumus kebijakan yang cenderung narsistis untuk lebih mengu­rusi agenda kepentingannya sendiri, dengan mengabaikan perhatian pada aspirasi publik.
    
    Terjadinya kemampatan transformasi aspirasi dari ranah publik ke ranah kebi­jakan memberi peluang bagi proses dagang sapi dalam penyusunan prioritas kebija­kan dan perundang-undangan. Kebijakan pemekaran wilayah merupakan lahan yang sarat transaksi seperti itu. Dalam banyak kasus, pengabulan pemekaran tidaklah dida­sarkan pada tingkat urgensi atas pertimbangan strate­gisnya, melainkan oleh ting­kat “kecanggihan” deal maker-nya.

    Perkembangan cepat da­lam proses pemekaran wilayah merangsang elite-elite lokal yang kalah bersaing dalam wilayah politik lama untuk memperjuangkan pemekaran. Dirangsang oleh preseden irasionalitas izin pemekaran sebelumnya, elite-elite ini pun kerapkali datang tanpa kalku­lasi yang masuk akal dan bisa saja menggunakan aksi-aksi irasional dalam memak­sakan kehendaknya. Dengan kata lain, aksi irasionalitas kekerasan dalam kasus Su­ma­tera Utara itu merupakan arus balik dari kebijakan-kebijakan irasional yang dikeluarkan oleh para pembuat kebijakan sebelumnya di seantero negeri.

    Oleh karena itu, demokrasi sebagai cara menyelesaikan masalah publik tanpa jalan kekerasan hanya bisa diper­tahankan dengan memuliakan akal sehat dan pertang­gung­jawaban. Politik sebagai sarana menyelesaikan masa­lah kolektif harus dibebaskan dari tawanan kepentingan elitis menuju kemaslahatan hidup bersama, di mana kebebasan hanya memperoleh kemuliaannya dengan ber­tang­gung jawab kepada yang lain.

    Untuk itu, demokrasi lebih dari sekadar ledakan kebe­basan dan penjelimetan prose­dural, melainkan juga suatu transformasi dalam proses belajar kolektif. Secara perla­han, masyarakat harus diba­wa keluar dari ikatan-ikatan komunal yang tertutup menu­ju asosiasi-asosiasi yang terbu­ka. Di dalam asosiasi, syarat keanggotaan tidaklah diten­tukan oleh latar primordialnya, melainkan oleh kapasitas individualnya.
Hal ini merupakan pra­syarat bagi kehidupan kene­garaan dan kewargaan yang baik. Bahwa keanggotaan dan kepemimpinan dari suatu unit lembaga kenegaraan tidaklah didasarkan oleh latar pri­mordial, seperti putra daerah, melainkan oleh kemaslahatan dan kapasitas warganya. Dalam konteks bernegara, warga masyarakat harus bertransformasi menjadi war­ga negara yang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum.

    Oleh karena itu, demokrasi yang baik memerlukan pendi­dikan kewarganegaraan yang baik. Bahwa manusia dan warga masyarakat yang baik tidaklah dengan sendirinya menjadi warga negara yang baik. Untuk menjadi warga negara yang baik, pemimpin dan kebijakan negaranya sendiri harus baik berkelindan dengan kapasitas warganya untuk menyadari hak dan kewajibannya.
Kita telah memiliki pe­rang­kat keras demokrasi, tetapi perangkat lunaknya masih tetap tirani. Marilah kita belajar berdemokrasi dengan memuliakan nilai-nilainya!*** 


Creatif by: Teguh_Haluan

by:Yudi Latif



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku Sekolah Elektronik PKn SMA/MA

Belajar Abad 21

Contoh Soal Ujian Madrasah (UM) MA 2021